Warta Pemalang - PRESIDEN Joko Widodo
menginginkan publik menjadi konsumen yang cerdas. Menurut dia, hal itu penting
karena perekonomiam nasional masih digerakkan oleh konsumsi. Konsumsi
masyarakat berkontribusi rata-rata 55,94% terhadap produk domestik bruto dalam
lima tahun terakhir.
"Edukasi konsumen diperlukan karena
dibandingkan dengan negara-negara lain konsumen Indonesia baru pada tahap paham
haknya tapi belum mampu memperjuangkan haknya sebagai konsumen," kata
Jokowi saat membuka rapat terbatas di Kantor Presiden, Selasa (21/3).
Edukasi menjadi keharusan mengingat banyak
kasus yang berpotensi merugikan konsumen. Contohnya banyak, di antaranya
terkait obat atau vaksin palsu, makanan kedaluarsa, malapraktik layanan
kesehatan, keamanan dan kenyamanan transportasi, pembobolan kartu kredit dalam
transaksi e-commerce..
Dari laporan yang diterima, Jokowi menyebut,
indeks kepercayaan konsumen (IKK) Indonesia di 2016 masih rendah, yaitu 30,86%.
Hal ini berbeda jauh dengan negara Eropa yang sudah mencapai 51,31%.
Pengaduan konsumen Indonesia, lanjut dia,
juga masih rendah, hanya 4,1 pengaduan dari satu juta penduduk Indonesia.
Sementara itu, Korea Selatan ada 64 pengaduan konsumen terjadi di setiap satu
juta penduduk.
Jokowi menjelaskan, edukasi diperlukan untuk
membuat konsumen bijaksana, tidak terjebak pada penyakit konsumerisme. Publik
juga diharap mampu memgatur konsumsi yang bersifat jangka panjang dan mulai
gemar menabung atau diinvestasikan kepada sektor sektor produktif.
"Konsumen juga diajarkan cintai
produk-produk dalam negeri sehingga industri nasional bisa berkembang dan
lapangan kerja juga bisa terbuka lebih banyak," papar dia.
Di sisi lain Jokowi juga menekankan kehadiran
negara dalam melindungi konsumen secara efektif. Efektivitas kehadiran negara,
kata dia, dilihat dari sejauh mana negara, norma, dan standar bisa dipenuhi.
Juga dilihat dari sektor pengawasan dan penegakan hukum.
"Saya mencatat data yang menunjukkan
tingkat kepatuhan produsen terhadap kesesuaian standar produk dengan SNI
ternyata masih rendah karena hanya 42% barang yang beredar di pasaran sekarang
ini sesuai dengan SNI," jelas dia. (sumber:X-12-mediaindonesia.com)