
Sengketa pertanahan yang paling
sering menjadi polemik di masyarakat adalah sengketa hak tanah di atas satu
persil diterbitkan dua sertifikat yang berbeda, sehingga terjadi sengketa di
antara pemegang sertifikat di atas satu persil yang sama. Secara faktual,
sengketa ini makin diperumit dengan dijaminkannya sertifikat yang menjadi objek
sengketa kepada pihak ketiga/ kreditor baik dalam bentuk dibebankan hak
tanggungan atau tidak. bila sertifikat itu ditetapkan/ diputuskan oleh
Pengadilan sebagai sertifikat yang tidak sah atau dibatalkan, tentunya pihak
ketiga/ kreditor tersebut akan dirugikan. Potensi ketidakpastian hukum atas
sengketa ini tentunya sangat besar dan kompleks yang pada akhirnya akan merucut
pula atas kepastian hukum sertifikat sebagai tanda bukti kepemilikan yang akan
menjadi kabur dan tidak jelas bagi pihak yang bersengketa.
Sengketa hak pertanahan yang
lain yang perlu diperhatikan adalah sengketa eks Hak Guna Usaha (HGU) tanah
perkebunan yang kerap dilakukan pengusaha/ perusahaan perkebunan nakal dengan
cara mengalihkan eks HGU yang telah berakhir masa berlakunya dan tidak
diperpanjang lagi oleh pemerintah, kepada pengusaha / perusahaan perkebunan
lain yang teraffiliansi dengan si pengusaha/ perusahaan itu sendiri atau tidak.
Secara hukum, perbuatan mengalihkan eks HGU ini merupakan perbuatan yang
melawan hukum, karena melanggar asas “nemo plus yuris” (melakukan perbuatan
yang melebihi haknya) mengingat dalam aturan hukumnya HGU hanya bisa dialihkan
sepanjang hak itu masih hidup atau masih berlaku. Jika HGU telah berakhir, maka
tanah kembali kepada negara atau dikuasai oleh negara. Sayangnya, instansi
pemberi HGU tersebut lebih memilih melakukan upaya hukum adminstrasi atau
secara perdata padahal perbuatan mengalihkan/menjual tanah eks HGU tersebut,
adalah termasuk domain hukum pidana dan para pelakunya dapat dijatuhkan sanksi
pidana. Akhirnya, bisa ditebak, masyarakat memiliki persepsi negatif tersendiri
atas penegakan hukum dibidang pertanahan dan karenanya tidak heran pula, pada
akhirnya masyarakat memilih melakukan eksekusi dengan caranya sendiri untuk
dapat mengelola tanah eks HGU tersebut.
Memang, dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, tidak mengatur
tentang sanksi pidana terhadap pelanggaran yang terjadi dalam pendaftaran tanah
dan penerbitan sertifikat, tetapi tidak berarti kesalahan dalam pendaftaran
tanah yang menyangkut adanya unsur-unsur kelalaian, kesengajaan, penipuan, dan
paksaan dalam pembuatan data fisik dan data yuridis tidak bisa dijangkau oleh
KUHP, terhadap mereka tetap dapat dijatuhkan sanksi pidana.
Kejahatan ataupun pelanggaran
pidana dalam hukum pertanahan, dapat berupa kejahatan dan pelanggaran dalam
pembuatan data fisik dan data yuridis, misalnya perusakan patok tanda batas
tanah dan mengubahnya pada tempat yang lain, memberikan data palsu atau
keterangan palsu yang berkaitan dengan keberadaan tanah dan dilakukan oleh
beberapa orang yang terkait, seperti kepala desa, lurah, notaris/PPAT, camat dan
para petugas administrasi negara di Kantor BPN serta orang yang memohon hak,
maka mereka tersebut dapat dikenakan sanksi pidana.
Di dalam KUHP terdapat ketentuan
yang mampu secara minimalis menjaring pelaku tindak pidana di bidang
pendaftaran tanah, yaitu antara lain dengan menggunakan Pasal 406 ayat (1) jo
Pasal 407 ayat (1) KUHP, pelanggaran terhadap Pasal 265 KUHP tentang
Pemalsuan Surat dan Pasal 55 KUHP tentang Penyertaan (delneming) jo
Pasal 385 KUHP tentang Perbuatan Curang (bedrog).
Dengan ketentuan pidana ini,
maka kebijakan kriminalisasi dalam peraturan perundang-undangan bidang
pertanahan telah terakomodasi. Tetapi dalam proses penyidikan dan penegakan
hukumnya masih terdapat kesulitan teknis, sehingga sulit untuk dilaksanakan
karena harus pula dapat dibuktikan bahwa perbuatan itu dilakukan dengan
memenuhi unsur kesalahan (schuld) karena kita tahu, tanpa adanya kesalahan,
seseorang tidak dapat dipidana (geen straf zonderschuld) dan tanpa dapat
dibuktikannya unsur kesalahan, maka ia dapat dibebaskan dalam segala dakwaan.
Untuk membuktikan unsur
kesalahan, sesungguhnya dapat dikaitkan dengan perbuatan sengaja (dolus) dan
kelalaian (culpa). Pembuktian adanya unsur kesengajaan sangat diperlukan
misalnya tentang data-data fisik maupun data yuridis dalam pendaftaran tanah,
dicurigai adanya kesalahan terhadap penentuan tugu/batas patok yang memenuhi
syarat teknis sesuai dengan peraturan perundang-undangan, karena di banyak
daerah tugu batas/patok adalah apa yang selama ini diyakini masyarakat secara alamiah
baik itu berupa pohon, batas tegalan sungai, dan sebagainya. Dalam hal ini,
penyidik Polri harus proaktif melakukan penyidikan tentang batas-batas tanah
yang sebenarnya sesuai dengan kenyataan di lapangan. Dalam banyak kasus, data
fisik ternyata tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya di lapangan. Hal ini
patut diduga, apakah ada kelalaian dan kesengajaan dari aparat membuat tugu
batas/patok dalam buku tanah yang bersangkutan. Di samping itu perlu diteliti,
apakah ada perbuatan memindahkan batas/patok yang asli dan menggantikannya
dengan patok lain yang tidak sesuai dengan ukuran semula. Perbuatan itu dapat
dikualifikasi sebagai perbuatan perusakan barang yang diancam dengan Pasal 406
dan Pasal 407 ayat (1) KUHP. Kejahatan ini merupakan perbuatan sengaja
melakukan perusakan atau pemindahan patok batas yang bersangkutan oleh pemohon
hak ataupun oleh petugas BPN. Dalam hal ini, patut diduga adanya indikasi
kolusi. Di samping itu, peran kepala desa ataupun lurah sangat menentukan dalam
hal pembuatan surat keterangan tidak adanya silang sengketa, yang kemudian
dikuatkan dengan Surat Keterangan Camat setempat terhadap tanah yang
bersangkutan. Tidak mustahil hal ini dapat terjadi karena adanya kepentingan
berbagai pihak yang terkait dengan pendaftaran tanah dan penerbitan sertifikat
atas tanah. Perbuatan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana
memberikan keterangan palsu/pemalsuan dokumen, yang dilakukan dengan
penyertaan/turut serta (deelnemiing), perbuatan mana diancam dengan Pasal 263, 264
jo Pasal 55 KUHP.
Disamping itu, Penyidik Polri
perlu menentukan apakah perbuatan penyertaan/turut serta (deelneming), apakah
termasuk turut serta yang berdiri sendiri (zelf standing deelnemers)
atau termasuk turut serta yang assesoir (accessoire deelnemers). Penentuan ini
adalah untuk menentukan pertanggungjawaban pelaku, apakah pelaku itu
masing-masing berdiri sendiri, dengan kualitas perbuatan yang berbeda dan
hukuman yang berbeda bagi masing-masing pelaku. Atau apakah perbuatan itu
dilakukan antara pelaku dengan pelaku lainnya, saling berhubungan satu sama
lain dalam arti perbuatan yang satu dianggap ada jika adanya perbuatan dari
pelaku yang lain, sehingga pertanggungjawaban pelaku dinilai sama dan dijatuhi
hukuman yang sama.
Para petugas BPN sebagai
instansi yang berwenang, dalam hal penerbitan sertifikat hak-hak atas tanah,
juga perlu terlebih dahulu memeriksa rekaman data fisik dan data yuridis dalam
buku tanah, supaya penerbitan sertifikat tidak tumpang tindih atau terdapat 2
(dua) sertifikat atau lebih di atas 1 (satu) bidang tanah. Kemungkinan juga
bisa terjadi di atas tanah dengan sertifikat hak milik dikeluarkan pula hak
guna usaha (HGU). Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan mengadukan
masalahnya ke pihak kepolisian, maka pihak Polri harus melakukan investigasi
tentang proses, prosedur dan jika perlu atas kewenangannya dapat melihat buku
tanah yang bersangkutan, berdasarkan Pasal 131 dan Pasal 132 KUHAP.
Dalam rangka penyidikan kasus
tersebut, pihak Polri dapat mempergunakan Hukum Pidana Umum, bahkan tidak
menutup kemungkinan menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, apabila
rangkaian perbuatan yang dilakukan oleh para pejabat terkait atau masyarakat,
yang bertujuan memperkaya diri sendiri atau orang lain dan merugikan keuangan negara.
Pembuktian yang menyangkut peristiwa pidana tersebut dapat dilakukan sesuai
dengan Pasal 164 HIR/Pasal 184 KUHAP yang dimulai dari bukti tulisan,
kesaksian, persangkaan, pengakuan, dan sumpah yang dapat diambil dari dokumen
para saksi maupun tersangka dalam kasus tersebut. Demikian semoga bermanfaat.